Berikut ini adalah cerita yang penuh hikmah sepasang suami isteri. Semoga semakin memotivasi kita dalam menjalani kehidupan berkeluarga. Monggo diaturi baca artikelnya:
Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh...betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur sop rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin gak ketulungan. "Ummi..Ummi, kapan kau dapat memasak dengan benar...? Selalu saja, kalau tak keasinan..kemanisan, kalau tak keaseman ya kepedesan!" Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu. "sabar bi..,Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul...?" ucap istriku kalem. "Iya..tapi abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini...!" jawabku dengan nada tinggi. Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat istriku menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti airmatanya sudah merebak.
***Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput- jumput harapan utk menemukan 'baiti jannati' di rumahku. Namun apa yang terjadi..? Ternyata kenyataan tak sesuai dg apa yang kuimpikan. Sesampainya dirumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal pecah. Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung disana sini. Piring-piring kotor berpesta pora di dapur, dan cucian...ouw...berember-ember. Ditambah lg aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan detergen tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristighfar sambil mengurut dada. "Ummi..Ummi, bagaimana abi tak
selalu kesal kalau keadaan terus menerus begini..?" ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ummi..istri sholihah itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga hrs pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah..?" belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis istriku yang kelihatan begitu pilu. "Ah..wanita gampang sekali untuk menangis.." batinku berkata dalam hati. "sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi istri sholehah? Istri sholihah itu tidak cengeng," bujukku hati-hati setelah melihat airmatanya menganak sungai dipipinya. "Gimana gak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena memang ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja, untuk jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali," ucap istriku diselingi isak tangis. "Abi gak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda..." ucap istriku lagi, sementara airmatanya kulihat tetap merebak.
*** "Bi..., siang nanti antar ummi ngaji ya...?" pinta istriku. "Aduh, mi...,abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?" ucapku. "Ya sudah, kalau abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan gak pingsan di jalan," jawab istriku. "Lho, kok bilang gitu...?" selaku. "Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam bus dengan suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih gak kenapa-kenapa," ucap istriku lagi. "Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja," jawabku ringan. Pertemuan hari ini ternyata diundur tahun depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput istriku. Entah knp hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat istriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan parang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. "Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu," aku membathin sendiri. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sandal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Dug! Hati ini menjadi luluh. "oh...bukankah ini sandal jepit istriku?" tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Airmataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan istriku. Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Smentara teman-temannya bersepatu bagus. "Maafkan aku Maryam," pinta hatiku. "Krek...," suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Ku lihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna jilbab dan kerudung umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi istriku belum juga keluar. Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berjilbab hitam melintas. "Ini dia Mujahidahku!" pekik hatiku. Ia beda dg yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sd...h lusuh pula warnanya. Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong bajupun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan istriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar malu pada Allah dan RasulNYA. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang istriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: "Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya." sedang aku...? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli istrinya dengan baik. Sedang aku...? Terlalu sering mengomel dan menuntut istri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terzholim!!! "Maryam...!" panggilku, ketika tubuh berjilbab gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia. "Abi...!" bisiknya pelan dan girang. Sungguh, aku baru melihat istriku segirang ini. "Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput istri?" sesal hatiku. Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk istriku. Ketika tau hal itu, senyum bahagia kembali mengembang di bibirnya, "Alhamdulillah, jazakallahu...," ucapnya dengan suara tulus. Ah, Maryam, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal... menyerbu hatiku . Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh istri sholihah dan 'iffah sepertimu..? Kenapa baru sekarang pula ku tau betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku...? Subhaanallooh
0 komentar:
Posting Komentar